Eksistensi Diri

Medium | 21.12.2025 02:53

Eksistensi Diri

tha's desk

Follow

4 min read

·

Just now

Share

What am I? Where I belong to? Am I did the right thing? What am I supposed to do? What they’re going to do if they were me?

Hidup, acapkali dipenuhi dengan ribuan pertanyaan. It’s our first life. Pesimisme merupakan sesuatu yang akrab dan selalu menghadiri langkah. Aku sebelumnya merasa bahwa hidup bukan merupakan sesuatu yang akan aku “kendarai” secara pribadi. Aku membutuhkan orang lain, untuk memberiku saran, untuk membuatku merasa lebih baik tentang pilihanku, untuk tidak mengacaukan pilihan hidupku dengan suaraku sendiri.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Membuat diriku menjalani hidup tanpa tujuan, tanpa arah, tanpa maskapai. Hanya mengambang, melayang, mengikuti, menuruti ide dan keputusan orang lain.

And it feels sucks every time it happened. Diriku mulai terkikis lambat laun, hingga aku tidak lagi menyadari dan mengetahui bahwa terdapat “dunia lain” yang bisa aku gapai dengan mengubah perspektif dan caraku mengambil keputusan. Semua semu dan tercampur.

But the thing is, when you hanging up to someone. You’re not gonna make it.

Everyone’s busy with their own life. Their own problem Their own busyness. And I learn that, ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang belum pernah aku rasakan sejak aku memahami tentang tanggung jawab, hak, kewajiban, konsekuensi atas segala hal, dan for once, terasa bahwa aku bisa melakukan sesuatu atas kehendakku sendiri.

I likely to call it.. “free will”?

Masih dibersamai dengan rasa takut dan pesimistis, slowly, aku bergerak maju. Mengambil langkah demi langkah. Memutuskan apa yang perlu aku ambil dan capai. Apa yang bisa aku lakukan untuk membawaku ke suatu hal yang menguntungkan? Tentunya, tetpa didasarkan kepada perilaku yang tidak merugikan orang lain dan diri sendiri, serta sejalan dengan prinsip yang kupegang.

But the thing is, kenaifan itu ada. Merasakan esensi kebebasan memilih dan menentukan (in a micro way…) aku lupa mempelajari untuk menganalisis sesuatu lebih dalam dan membuang atau melepaskan sesuatu yang tidak baik. Dalam kata lain, aku lupa untuk tidak terlalu mudah mempercayai orang lain.

Dalam beberapa kali hentakan, beruntun, menusuk, dan tajam yang kian terjadi terus menerus, lalu menumpuk melubangi sebuah luka.

Aku terjatuh.

And honestly, the wound is still wet. But from there, I took a huge life lessons.

And the thing is, I can feel that I grow a lot better. Instead, sebuah kesalahan, kegagalan, dan luka dalam mencoba sesuatu, yang awalnya membuat aku merasa ketakutan dan coba aku hindari mati-matian, kini membentukku lebih dalam dan membentuk sebuah perisai yang kini dapat aku gunakan.

Lebih dalam, aku belajar untuk bergantung kepada diri sendiri, memilih keputusan berdasarkan diriku sendiri entah hasilnya akan membuatku tersandung atau tidak, tapi aku tetap terasah. Semua jawaban yang ada, dapat aku manfaatkan sedemikian rupa ke depannya. It’s all based on our perspective and reaction.

Aku mulai belajar bahwa semua bisa berada di bawah kendali kita. Bahwa kita tidak selalu harus menurut dan mengangguk di saat hati kita mengatakan hal yang lain, bahwa kita masih bisa berteman dengan baik walau memiliki perbedaan pendapat, bahwa perbedaan pendapat bukan selalu berarti kita membenci seseorang, melainkan itu berdasarkan tentang pandangan kita terhadap suatu hal. Bahwa kita, manusia, memiliki kendali atas diri kita, secara individu, roh, jiwa, dan logika.

Get tha's desk’s stories in your inbox

Join Medium for free to get updates from this writer.

Subscribe

Subscribe

Hal yang aku dapatkan selama belasan tahun aku hidup, terbentuk dari sesuatu di masa lalu. Tetapi, aku menolak untuk mempercayai sesuatu seperti behavioral theories di ilmu psikologi. Rasanya seperti mematahkan harapan manusia untuk berubah. Dan ya, kita selalu bisa berubah. Kita tidak terkekang, kita punya pilihan dan otoritas atas diri kita sendiri.

Setelah mengalami hal-hal tersebut, aku mulai mengadopsi beberapa hal lainnya yang juga tidak aku sadari. Sesuatu seperti “fingerprint”, but it based on our behavior.

“What makes you you” adalah sesuatu yang temanku sampaikan kala itu, and it leave a mark on me. Tanpa sadar, aku mencoba mendalami kalimat itu.

What.. makes me, me?

Apa ya? aku sama seperti manusia pada umumnya, makan, tidur, bernapas. Tapi sesuatu yang selalu membersamai lingkup sosial ini tetspi jarang disadari ialah,

The color of our world.

Masih ada sisi dunia yang indah. Bersama beragam manusia di dalamnya. Setiap manusia, tentu, 100%, pasti! memiliki karakteristik yang berbeda.

Karakteristik itulah yang membuat kamu, ya kamu.

Kamu adalah kamu.

It’s just simply based on bagaimana kamu perceive hal, bagaimana perilaku kamu dalam menghadapi sesuatu, bagaimana kamu menyatakan bagwa hatimu terkikis atas suatu hal, bagaimana kamu tertawa karena hal-hal kecil, bagaimana kamu marah atas suatu batasan yang terlanggar. Ada sesuatu seperti itu.

Mendengar dari podcast Raditya Dika. Manusia menyukai suatu orisinalitas. Tempat untuk kamu bisa menjadi dirimu, tanpa merasa malu, tanpa merasa takut dihakimi, tanpa harus merasa perlu untuk terlihat sempurna, tidak terjatuh, dan tidak mempunyai scars or wounds at all.

Menarikku lagi untuk berpikir, dimana aku selama hidupku? dimana esensi aku menikmati kehidupan yang aku miliki?

Berangkat dari situ, aku juga mencoba untuk lebih menghadirkan orisinalitasku, berhenti menghakimi diri sendiri dan terlalu keras terhadap diri sendiri. Karena perfeksionisme itu ilusi, tidak nyata, tidak adil terhadap diri sendiri. Bagaimana kamu mengharapkan dirimu terlihat selalu sempurna, percaya diri, di atas, dan segala halnya itu, di saat, kesalahan, rendah diri, rasa sedih, rasa marah, bahagia atas hal sepele atau tertawa tanpa alasan, serta harga diri yang sewaktu waktu wajar bila terkikislah yang membuatmu menjadi manusia.

We’re a human, not god.

Accept yourself for the way you are.

Eksistensimu penting. Definisikan berdasarkan bagaimana persepsimu tentnag suatu hal. And one thing is important, tidak ada hal yang salah sama sekali atas persepsi yang kamu dapatkan. Ada sebab, ada akibat, ada hal yang membentukmu untuk menjadi kamu yang sekarang. And it’s all normal. It’s just, you. It is you. You are you ^^