Hari HAM Sedunia dan Negara yang Masih Gagal
Medium | 10.12.2025 12:59
Hari HAM Sedunia dan Negara yang Masih Gagal
3 min read
·
1 hour ago
--
Setiap tahun, tanggal 10 Desember datang seperti alarm yang kita tahu akan berbunyi, tapi entah kenapa suaranya tetap menusuk. Hari HAM Sedunia seharusnya menjadi perayaan kemenangan, tetapi di negeri ini ia terasa seperti peringatan kematian: tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian ingatan, kejujuran, dan tanggung jawab. Yang ironis, negara selalu mengulang retorika yang sama—“komitmen”, “akuntabilitas”, “perbaikan”—sementara luka di tubuh bangsa ini justru bertambah panjang seperti daftar tunggu yang tak pernah selesai.
Hannah Arendt pernah menulis dalam The Origins of Totalitarianism bahwa pelanggaran HAM selalu dimulai dari penghilangan identitas manusia, ketika seseorang dipandang bukan sebagai individu dengan hak, melainkan sebagai gangguan bagi stabilitas negara. Kalimat itu terasa menohok, karena bukankah itu yang terus terjadi di sini? Dari mereka yang hilang pada 1997–98, hingga masyarakat adat yang terus digusur tanpa ampun di timur negeri ini, hingga para pembela lingkungan yang ditangkap karena membela tanah yang bahkan bukan milik mereka secara formal—padahal Rohingya yang terusir pun, seperti dicatat Arendt, menjadi manusia “tanpa hak untuk punya hak”. Kita mengulang pola itu, hanya dalam baju yang berbeda.
Hari HAM hari ini terasa lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya, mungkin karena kita menyaksikan langsung bagaimana negara merayakan dirinya sementara warganya tenggelam—secara harfiah—di barat akibat banjir dari pembalakan yang tak terkendali, dan terbakar amarah di timur akibat perampasan tanah yang nyata-nyata dilakukan atas nama pembangunan. Negara menolak bantuan internasional, memarahi warganya yang berinisiatif melakukan penggalangan dana, seolah solidaritas adalah ancaman dan bukan pertanda bahwa rakyat sedang menutup lubang-lubang yang negara gali sendiri.
Munir pernah mengatakan, “Negara tidak boleh takut pada warganya. Negara harusnya takut pada ketidakadilan.” Namun dua dekade setelah ia diracun di pesawat, kata-kata itu terdengar seperti doa yang tidak dikabulkan. Kasusnya mangkrak, namanya diperingati, tetapi pembunuhnya tidak pernah benar-benar disentuh hukum. Inilah potret paling telanjang dari kemunduran HAM: negara menyukai upacara, tapi tidak suka bertanggung jawab.
Dalam situasi seperti ini, kita sering mencari pelipur lara pada karya-karya yang berhasil merangkum derita manusia lebih jujur daripada negara mana pun. The Idea of Justice karya Amartya Sen mengingatkan, keadilan bukan soal menemukan sistem sempurna, melainkan mengurangi ketidakadilan nyata yang dialami orang pada saat ini. Maka ketika masyarakat adat kehilangan tanahnya, ketika anak muda ditangkap karena kritik, ketika ruang sipil dipersempit, ketika banjir adalah hasil kebijakan bukan bencana alam, maka Sen akan bertanya: “Apa yang harus segera diperbaiki?” Bukan “apa yang akan kita janjikan”.
Karya-karya seperti Dalih Pembunuhan Massal (John Roosa), Pulau Buru Tetralogi (Pramoedya Ananta Toer), Yang Tak Kunjung Padam dan Dari Dalam Kubur (Soe Tjen Marching), dan Laut Bercerita (Leila S. Chudori) bukan sekadar buku. Mereka adalah museum yang seharusnya dimiliki negara namun tidak pernah dibangun. Mereka adalah arsip perlawanan terhadap impunitas. Jika negara menolak mengakui luka, maka sastra yang akan menjahitnya. Jika negara membungkam suara, maka fiksi yang akan berteriak.
Indonesia selalu suka berpura-pura bahwa pelanggaran HAM adalah cerita lama. Namun bagaimana mungkin kita memanggilnya masa lalu jika para pelakunya masih hidup, sebagian berkuasa, sebagian dipuja, dan sebagian bahkan sedang diusulkan menjadi pahlawan? Bagaimana mungkin kita menyebutnya sejarah jika luka itu masih berdarah di hari ini—ketika aktivis lingkungan ditangkap karena mendampingi warga, ketika aparat membubarkan aksi damai, ketika kampung adat diruntuhkan dengan dalih pembangunan?
Begitulah ironi Hari HAM: ia menjadi hari ketika negara menghias dirinya dengan kalimat-kalimat indah, sementara rakyat harus mengingatkan bahwa hak asasi bukan hadiah dari negara, melainkan batas bagi negara.
Wiji Thukul pernah menulis, “Hanya ada satu kata: lawan!” Tetapi konteks hari ini membuat kata itu semakin kompleks. Perlawanan bukan sekadar turun ke jalan, tapi juga membaca, menulis, mengarsip, bertanya, membongkar propaganda, merawat ingatan. Karena seperti kata José Saramago dalam Blindness, ketika satu bangsa buta, yang berbahaya bukan kegelapannya, tetapi yang merasa melihat justru tidak mau membuka mata.
Maka Hari HAM Sedunia bukan tentang ritual. Ia adalah pengingat bahwa demokrasi bisa mundur, kebebasan bisa direbut, dan kemanusiaan bisa diperdagangkan dengan sangat murah. Ia adalah pengingat bahwa negara tidak otomatis berada di pihak kita; negara harus ditekan, diingatkan, dikoreksi, bahkan dilawan—jika perlu—demi mencegahnya menjadi mesin yang memakan manusia.
Dan mungkin inilah kebenaran yang paling pahit namun paling jujur: hak asasi manusia tidak pernah runtuh sekaligus. Ia runtuh perlahan, retak demi retak, dimulai dari satu orang yang dibungkam, satu kelompok yang digeser, satu kritik yang dipermasalahkan. Hingga akhirnya seluruh bangsa terbangun dalam sunyi dan bertanya: sejak kapan kita tidak lagi bebas?
Hari HAM Sedunia seharusnya membuat kita berkabung, tapi juga marah. Marah karena kita tahu bangsa ini bisa lebih manusiawi daripada ini. Marah karena kita tahu, seperti kata Sen, bahwa ketidakadilan bukan takdir, melainkan keputusan. Dan keputusan bisa dilawan.
Karena pada akhirnya, peringatan bukanlah tujuan. Perjuanganlah yang membuatnya berarti.