Musik Adalah Alat Komoditas untuk Melawan Tirani yang Sewenang-wenang
Medium | 18.12.2025 11:58
Musik Adalah Alat Komoditas untuk Melawan Tirani yang Sewenang-wenang
2 min read
·
Just now
--
Ada satu hal yang sering dilupain banyak orang: musik itu bukan cuma soal nada, beat, atau lirik yang enak diputer sambil ngopi. Musik sejak awal lahir sebagai bahasa perlawanan. Ia tumbuh dari keresahan, dari dada yang sesak, dari mulut yang dibungkam tapi tetap pengin teriak. Dan ironisnya, justru di situ musik berubah jadi komoditas—alat tukar yang bisa dipakai buat melawan tirani yang sok suci dan sewenang-wenang.
Kalau tirani pakai senjata, musik pakai suara. Kalau tirani main kuasa, musik main rasa. Dan di tengah dunia yang makin gemar menormalisasi ketidakadilan, musik sering jadi jalan paling jujur buat bilang: “Ini salah, dan kita muak.”
Di tongkrongan, di kamar kos, di gigs kecil yang panggungnya hampir ambruk—musik selalu jadi medium paling demokratis. Lo gak perlu jabatan, gak perlu mimbar, gak perlu izin. Cukup gitar butut, mic pinjeman, atau laptop kentang. Begitu lagu diputer, pesan nyampe. Kadang malah lebih nancep daripada pidato pejabat yang isinya muter-muter dan ujungnya cuci tangan.
Musik juga jadi komoditas dalam arti yang sering disalahpahami. Komoditas bukan cuma soal duit, kontrak, atau industri. Tapi soal nilai. Lagu bisa jadi barang tukar buat solidaritas. Satu lagu bisa ditukar dengan kesadaran. Satu lirik bisa dibarter dengan keberanian. Dan satu panggung kecil bisa jadi ruang aman buat ngomongin hal-hal yang di luar sana dianggap “terlalu sensitif”.
Tirani paling benci sama musik yang jujur. Karena musik gak bisa dibungkam sepenuhnya. Lo bisa sensor lirik, tapi gak bisa matiin makna. Lo bisa larang panggung, tapi lagu bakal tetap hidup di kepala orang-orang. Dari kaset bajakan, file kiriman, sampai dinyanyiin rame-rame tanpa mic. Musik selalu nemu jalannya sendiri.
Makanya gak heran kalau banyak rezim takut sama lagu. Takut sama anak muda yang nyanyi sambil kepalan tangan. Takut sama kerumunan kecil yang kelihatannya cuma “nongkrong gak jelas”, padahal lagi masak kesadaran bareng-bareng. Karena di situ, musik bukan hiburan. Musik berubah jadi senjata yang halus tapi nyakitin.
Di era sekarang, ketika musik sering direduksi jadi backsound konten, jadi angka streaming, jadi branding kosong, penting buat ngingetin ulang: musik punya tanggung jawab sosial. Bukan berarti semua musisi harus jadi aktivis, tapi setiap karya selalu punya posisi. Netral itu mitos. Diam itu juga pilihan, dan sering kali berpihak pada yang kuat.
Musik yang lahir dari kegelisahan akan selalu nemuin pendengarnya. Karena tirani bisa ganti wajah, tapi penindasan tetap punya bau yang sama. Dan selama itu masih ada, musik akan terus jadi alat komoditas perlawanan—dipertukarkan dari telinga ke hati, dari hati ke tindakan.
Jadi kalau hari ini lo denger lagu yang bikin dada panas, kepala mikir, dan mulut pengin ngomel, jangan buru-buru bilang itu cuma lagu. Bisa jadi, itu alarm. Bisa jadi, itu bentuk perlawanan paling jujur yang masih kita punya.
Dan selama masih ada musik yang berani nyentil, tirani gak akan pernah benar-benar menang.