Ini Bukan Lagi Mimpi.

Medium | 18.12.2025 04:23

Ini Bukan Lagi Mimpi.

Akbar Roohul

3 min read

·

1 hour ago

Malam ini saya menulis kembali, menandai sebuah fase kehidupan di mana diri sendiri bimbang dan bingung dalam memilih arah hidup, akan tetapi juga mensyukuri apa yang terjadi.

Berawal dari sebuah postingan Instagram dari @alfilosufiyah_Institute yang berbunyi:

“Jika tujuan hidup hanya untuk melayani diri sendiri, maka sungguh engkau tidak memiliki tujuan.”

dan ketertarikan tersebut seakan menarik saya, ditekankan kembali dengan kutipan dari postingan tersebut:

“Aku tidur dan berharap memperoleh kesenangan, ternyata tidak. Lalu aku terjaga dan mulai memberi bantuan kepada orang lain dan kudapati bahwa pelayanan adalah pintu kesenangan.”

dari sana, saya jadikan kalimat-kalimat tersebut sebagai jembatan dan juga fondasi saya untuk membangun sebuah mimpi.

Hari ini sekiranya baru 4 bulan saya berPBHI, kalau dilihat jauh kebelakang-menjadi aktivis yang membela kepentingan orang banyak termasuk masyarakat miskin dan tertindas adalah mimpi yang saya rawat sejak duduk di bangku sekolah mene hah pertama.

Dahulu, saya selalu mengidolakan dan mendambakan menjadi seseorang yang berdiri tegak di garda terdepan untuk membela orang-orang yang tertindas oleh pengusaha dan penguasa, hal ini semakin diperkuat ketika saya duduk di bangku sekolah menengah atas.

Saat itu, media sosial semakin masif berkembang. berangkat dari sana saya mulai tertarik dengan berbagai isu-isu hukum dan politik yang berkembang di tanah kelahiran saya; saat itu saya hanya bangga dan haru melihat perjuangan para mahasiswa yang selalu terbuka dan merelakan dirinya turun kejalan membela hak masyarakat, saat itu saya ingat betul omnibus law menjadi isu hangat yang diprotes oleh mereka.

Get Akbar Roohul’s stories in your inbox

Join Medium for free to get updates from this writer.

Mulai dari sana, saya berangan-angan untuk dapat masuk kedalam fakultas hukum atau ilmu politik di Universitas Indonesia, namun sayang; meskipun saya yakin atas kemampuan dan kapabilitas diri untuk masuk kedalam universitas tersebut, rasa malas membantai saya karena perlu diakui, saya memiliki lingkungan pertemanan yang hebat dan menantan selama saya bersekolah di SMA 87.

Sempat ragu dan bimbang, entah bagaimana angin membawa saya kedalam Sosiologi Universitas Udayana yang berakhir pada pengunduran diri saya. bukan suatu keputusan yang diambil semata-mata hanya dengan pertimbangan pragmatis semata. tetapi pada saat itu saya kembali kepada idealisme diri saya, karena sosiologi adalah pilihan kedua saya; dan hukum adalah pilihan pertama saya.

Hingga pada akhirnya, saya memilih diri saya untuk berkuliah di Hukum Universitas Bina Nusantara. lagi-lagi, stigma akan kampus yang tidak terlalu mengarah kepada hal-hal yang berkaitan kepada politik menciptakan sebuah pagar besar yang menghalangi keinginan diri saya untuk terlibat langsung membersamai teman-teman mengikuti aksi.

Pada saat itu, saya melihat kakak kelas saya yang cukup dekat dengan saya di SMA, Rifqi Adyatma yang berkuliah di Ilmu Politik UPNVJ sangat aktif dalam melakukan aksi-aksi yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, suatu hak yang membuat saya semakin iri dan menambah kemauan untuk dapat membersamai perjuangan masyarakat melawan kebijakan-kebijakan yang menindas. hal ini semakin diperparah dengan masuknya sahabat saya di SMA, Zufar Hafiz yang mengikuti jejak Rifqi untuk masuk di Ilmu Politik UPNVJ.

Namun, keterbatasan stigma tidak menghalangi tekad saya, saat Zufar disana, sesekali saya mengajaknya berdiskusi terkait kondisi dan pemetaan isu-isu politik hukum yang berkembang di negara ini, sesekali saya ikut berdemonstrasi dengan menggunakan almamater UPNVJ mengingat stigma yang lahir dan berkembang di tempat saya menempuh pendidikan menjadi sebuah hal yang riskan apabila saya membawa nama tersebut.

Hingga pada akhirnya, sampailah saya pada suatu fase magang; impian saya kian mantap, menjadi pembela Hak Asasi Manusia.

Tanpa ragu saya mengambil program magang di PBHI. Harapannya cuma satu, agar saya bisa beralibi apabila tindakan-tindakan saya menimbulkan masalah di ranah akademik; saya hanya tinggal menjawab bahwa itu yang menjadi ruang lingkup pekerjaan saya. Dan ternyata, hal yang berbeda justru terjadi, saya mendapatkan banyak dukungan dari dosen-dosen saya di program studi; terlebih lagi, betapa senangnya saya saat mengikuti aksi kamisan dan yang mengisi aksi kamisan tersebut adalah mantan Kaprodi saya.

di PBHI saya belajar banyak sekali hal-hal yang menyangkut tentang Hak Asasi Manusia, sebuah isu yang selalu menjadi dambaan saya sejak dulu. PBHI mengajarkan saya banyak hal, memberikan saya banyak pengalaman, memperkenalkan saya dengan banyak teman-teman seperjuangan, juga melepas batasan-batasan yang selama ini ada didalam hidup saya.

Senang sekali rasanya bisa hidup didalam mimpi yang selama ini didamba-dambakan, akan tetapi; sebuah hal tidaklah selalu berjalan sesuai apa yang kita mau, banyak hal yang harus direlakan, banyak peristiwa yang harus dikesampingkan.

Saat ini, beberapa kali saya menyadari bahwa saya hidup di dalam mimpi yang selalu saya angankan sejak dahulu, menjadi sebuah tameng untuk mereka yang tertindas, menjadi otak untuk mereka yang tidak punya waktu dan kekuatan untuk memikirkan apa yang sedang dialami. betapa bahagianya hidup saya, membantu mereka yang membutuhkan.

Akbar Roohul Amin — 18/12/2025