Kepada Penulis Angkuh

Medium | 22.12.2025 11:25

Kepada Penulis Angkuh

Aku tak tau, apakah benar solidaritas itu penting atau tidak. Setelah aku mengalami hal yang tidak menyenangkan beberapa hari lalu setelah menghubungi seorang sastrawan muda yang sedang giat menyuarakan kondisi kampung halamannya dan sedang bersitegang terhadap aktivitas pertambangan batubara.

Sebelumnya saya berfikir positif, sudah seharusnya sastra dan sikap itu memang bercermin dengan kondisi sosial yang ada di sekitarnya. Apalagi dia sedang giat-giatnya juga membangun penerbitan indie untuk membangun jaringan sastra di daerah ini lebih hidup lagi. Aku tidak ada sangsi sama sekali, justru aku mendukung dengan inisiatif-inisiatif gila macam ini, mengingat betapa jeblognya peminat buku di kota ini.

Sebenarnya aku sudah punya banyak agenda untuk tahun depan bersama kawan-kawan kolektif di Banjarbaru, dan salah satunya adalah life in di kampung tempatnya Rantau Bakula sebagai lokasi terdampak aktivitas tambang yang sudah berkonflik selama bertahun-tahun. Saya mungkin akan tinggal di sana dalam beberapa hari, mengobrol, mendokumentasikan, dan melihat aktivitas warga. Mencoba mendengarkan secara langsung keluhan mereka, mensupport mereka agar merasa tidak berjuang sendirian, bahwa masih ada anak-anak muda di luar wilayah mereka yang bersimpati dan ingin bersumbangsih untuk perjuangan warga.

Inginnya, setelah itu saya dapat memikirkan kedepannya apa yang bisa kami lakukan. Mungkin nanti tentunya merangkul dengan beberapa kawan kolektif dan NGO untuk bersama-sama merangkum ide dalam melakukan aktivasi dan kegiatan yang ada di sana.

Saya lalu menghubungi sastrawan muda itu, awalnya via DM di Instagram, lalu pindah ke pesan WhatsApp. Saya jelaskan keinginan saya untuk bertemu dan membicarakan niat saya, tapi saya tidak menjelaskan secara rinci tentang apa yang akan saya lakukan, takutnya ada salah tafsir dan kesalah pahaman. Oleh karena itu saya ingin bertemu. Namun karena dia tinggal di kampung dan jaraknya tiga jam berkendara menuju kota ini, jadi saya mahfum. Sempat kami mencocokkan jadwal, berhubung dia dalam beberapa minggu turun ke kota untuk mengisi beberapa diskusi dan seminar buku di komunitas atau kampus. Namun sialnya saya tidak bisa datang karena bertabrakan dengan jadwal kerjaan saya. Akhirnya pertemuan-pertemuan itu pupus.

Hari-hari kulalui dengan perjalanan pulang pergi dari Banjarbaru-Banjarmasin. Itu perjalanan yang melelahkan, namun aku menikmatinya. Panas terik dan debu yang bertebaran di sepanjang jalan Ahmad Yani, hujan badai yang memaksaku untuk berhenti di toko waralaba, terduduk melihat sorot lampu kendaraan yang remang-remang dan lamunan aneh ala orang yang menginjak dewasa. Menghisap kretek dan kopi Golda yang tidak ada kopi-kopinya selain gula yang mengandung perisa.

Hanya musik yang menemani perjalananku menuju tempat kerjaan, musik bisa membantuku untuk menghindari distraksi yang tiba-tiba berkelindan di kepala, atau hal konyol seperti berbicara pada diri sendiri. Semacam kontemplatif yang tidak disengaja.

Namun ada momen yang tiba-tiba menggugah perasaanku siang hari itu di jalan. Kengerian banjir di Sumatra tiba-tiba muncul begitu saja, teringat aku pada Kalimantan ini, nasib kami di sini tidak jauh beda dengan Sumatra. Perambahan hutan, ekspansi sawit dan tambang, kami cepat atau lambat akan mengalami hal yang sama dengan mereka jika tidak mencegah tanah ini dirusak lebih parah oleh para penguasa dan pebisnis anjing itu. Jujur aku menangis di siang bolong seperti pemuda yang baru saja gagal, entah gagal karena hidup atau percintaan.

Aku tidak mungkin mengangkat senjata atau langsung mengusir para penyamun itu, aku juga bukan revolusioner yang tangguh dan militan seperti tokoh-tokoh di buku-buku dan kata-katanya banyak dikutip di pamflet dan kaos-kaos itu. Namun aku percaya, sekecil apapun perlawanan adalah tetap perlawanan. Aku percaya keran solidaritas dari fokus apapun itu penting. Entah itu yang secara formal atau pada titik yang paling radikal.

Segera setelah itu kukirim pesan daring kepada sastrawan muda itu, kujelaskan secara rinci apa keinginanku dan maukah dia berkenan menjadi guide selama aku di sana dengan nada permohonan. Tak ada balasan, dan aku masih menunggu, sampai aku pada kekesalan karena melihat dia memposting promo buku yang dia jual dan terkesan sudah seperti sastrawan besar saja.

Sontak aku memaki-maki, kuhubungi beberapa kawan untuk Curhat betapa kesalnya aku. Ada yang menanggapi dengan mencoba mencari jaringan lain, ada pula yang mengajak mencari tempat yang lain. Karena sebenarnya masih banyak lagi titik-titik konflik warga di Kalsel ini yang belum ter-blow up ke media dan hanya sekali duakali disambangi oleh NGO dan kelompok aktivis lainnya.

Aku tidak tau, akukah yang egois atau aku yang tidak tau kondisi. Tapi di masa yang sulit seperti ini, melihat ada individu-individu yang masih menganggap enteng sebuah ide dan mengesampingkannya seperti tindakan yang tidak adil sejak dalam pikiran. Segera kublokir kontak dan Instagram miliknya, aku tidak mau berurusan lagi dengan para sastrawan atau penyair salon macam itu. Hanya membuat patah hati dan semangat saja, masih banyak yang bisa kulakukan, masih banyak kawan yang peduli dengan perjuangan ini. Aku tidak ingin bermusuhan, tapi ini lebih kearah menjaga mentalku lebih baik saja dan kejadian semalam kuanggap tidak terjadi bahkan tidak ada.

Selang beberapa hari kawanku bemberi kabar, bahwa sastrawan muda itu mencoba membalas dan menelfon saya dan mencoba untuk bertemu. Kulihat jadwalnya tidak cocok, lagian aku masih dongkol, masak nunggu balasan chat harus sampai dua hari, udah kayak Konsul skripsi sama dosen aja.

Aku tidak tau tindakanku benar atau salah, biarlah berlalu. Seperti buku Ucok yang baru setengahnya kubaca, “Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan.” Tapi sepertinya aku tidak butuh bantuan orang macam itu.