Indonesia dalam Cengkeraman Promothean

Medium | 23.12.2025 02:45

Indonesia dalam Cengkeraman Promothean

Rayfahd Haykal

Follow

4 min read

·

Just now

Share

Ada satu jarak yang pelan-pelan melebar antara kesalehan yang kita ucapkan dan cara kita memimpin bumi.

Indonesia sering disebut sebagai bangsa religius. Masjid berdiri di hampir setiap sudut kota, adzan membelah hari lima kali, doa mengiringi pembukaan rapat hingga pidato kenegaraan. Di atas kertas, kita tampak dekat dengan Tuhan.

Namun, ketika hutan dibabat tanpa rasa bersalah, sungai disempitkan demi konsesi, dan bencana diperlakukan sekadar sebagai statistik musiman, pertanyaan lama kembali muncul: kesalehan seperti apa yang sebenarnya sedang kita jalani.

Dalam khazanah pemikiran spiritual, manusia primordial dipahami sebagai manusia yang hidup dalam fitrah. Ia menyadari posisinya sebagai khalifah, bukan penguasa mutlak. Alam tidak ditaklukkan, tetapi dirawat. Kekuasaan bukan alat dominasi, melainkan amanah. Berhadapan dengannya adalah manusia Promethean, sosok modern yang tercerabut dari hubungan sakral dengan Tuhan dan alam. Ia percaya bahwa kemajuan lahir dari penaklukan, bahwa batas adalah sesuatu yang harus dilampaui, dan bahwa kesombongan intelektual adalah harga wajar dari pembangunan.

Ironisnya, Indonesia yang religius justru tampak semakin lama semakin dipimpin oleh manusia-manusia Promethean.

Kepemimpinan Promethean tidak selalu hadir dalam wujud pidato yang lantang atau ideologi yang terang-terangan antiagama. Ia sering muncul dalam bentuk yang lebih halus: kebijakan yang menyebut deforestasi sebagai investasi, penggusuran sebagai penataan, dan bencana sebagai takdir alam. Bahasa agama tetap digunakan, tetapi maknanya kosong. Tuhan disebut, namun tidak benar-benar dihadirkan dalam keputusan.

Banjir besar yang melanda wilayah Sumatera pada 2025 menjadi contoh paling gamblang dari mentalitas ini. Air tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari rangkaian keputusan yang panjang dan sistematis. Hutan dibuka untuk perluasan sawit, kawasan resapan air berubah menjadi konsesi, sungai dipersempit oleh sedimentasi dan limbah. Semua dilakukan dengan izin, dengan stempel, dengan legitimasi negara.

Ketika banjir datang, narasi yang dibangun nyaris selalu sama. Curah hujan ekstrem. Fenomena alam. Perubahan iklim global. Semua benar, tetapi tidak lengkap. Ada keserakahan yang disembunyikan di balik grafik ekonomi. Ada pejabat yang menandatangani izin sambil tahu bahwa yang dikorbankan adalah ruang hidup warga. Ada oligarki yang diuntungkan, sementara masyarakat diminta bersabar.

Get Rayfahd Haykal’s stories in your inbox

Join Medium for free to get updates from this writer.

Subscribe

Subscribe

Di sinilah wajah Promethean itu tampak jelas. Alam dilihat sebagai objek eksploitasi, bukan amanah. Kekuasaan dipahami sebagai hak untuk mengambil, bukan tanggung jawab untuk menjaga. Dan agama direduksi menjadi simbol moral, bukan kompas etis.

Yang paling terdampak dari pola ini sering kali adalah mereka yang suaranya paling jarang didengar. Perempuan. Dalam banyak komunitas di Sumatera, perempuan memikul beban ganda saat banjir datang. Mereka yang mengurus anak, memastikan makanan tetap ada, menjaga lansia, sekaligus menghadapi kehilangan sumber penghidupan. Air yang merendam rumah bukan hanya merusak barang, tetapi juga rasa aman.

Perspektif ini jarang muncul dalam konferensi pers atau laporan resmi. Bencana dibicarakan dalam angka, luas genangan, dan kerugian material. Pengalaman tubuh perempuan, rasa takut, kerja perawatan yang tak terlihat, nyaris selalu absen. Padahal, di sanalah dampak ekologis dan politik itu benar-benar menjelma menjadi luka sehari-hari.

Kepemimpinan Promethean bekerja dengan cara menormalisasi semua ini. Banjir dianggap siklus. Pengungsian dianggap solusi sementara. Bantuan dianggap cukup untuk menutup kegagalan struktural. Tidak ada refleksi mendalam tentang relasi kuasa antara negara, korporasi, dan warga. Tidak ada pertanyaan serius tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan.

Sebagai bangsa dengan mayoritas Muslim, kontradiksi ini seharusnya mengganggu nurani kita. Konsep khalifah menuntut tanggung jawab ekologis. Konsep amanah menolak keserakahan. Namun, dalam praktik politik, nilai-nilai ini sering berhenti sebagai slogan. Kita memproduksi pemimpin yang fasih berbicara tentang moral, tetapi gagap ketika harus menahan laju eksploitasi.

Manusia Promethean tidak merasa bersalah ketika melanggar batas. Justru, melampaui batas dianggap prestasi. Pertumbuhan ekonomi dijadikan tolok ukur tunggal, sementara kerusakan ekologis dipinggirkan sebagai biaya yang tak terhindarkan. Dalam logika ini, bencana bukan kegagalan, melainkan konsekuensi yang bisa dinegosiasikan.

Tulisan ini bukan nostalgia romantik tentang masa lalu yang sepenuhnya harmonis. Manusia primordial bukan sosok naif tanpa konflik. Namun, ada kesadaran yang hilang ketika hubungan sakral dengan alam dan Tuhan diputus. Ada kehati-hatian yang tergantikan oleh ambisi. Ada kerendahan hati yang digeser oleh kesombongan.

Indonesia hari ini berada di persimpangan itu. Kita bisa terus memproduksi pemimpin Promethean yang mengukur keberhasilan dari luas konsesi dan angka investasi. Atau kita bisa mulai menuntut kepemimpinan yang lebih mendekati insan kamil, manusia yang menyelaraskan kekuasaan dengan spiritualitas, pembangunan dengan keadilan, dan kebijakan dengan empati.

Banjir di Sumatera bukan peringatan terakhir. Ia hanyalah salah satu dari banyak tanda bahwa alam sedang menagih kembali batas yang dilanggar. Pertanyaannya bukan apakah kita cukup religius dalam ritual, tetapi apakah kita cukup rendah hati untuk berhenti bersikap sebagai penakluk.

Pada akhirnya, mungkin masalah terbesar kita bukan kurangnya iman, melainkan terlalu banyak pemimpin yang merasa dirinya sebagai dewa-dewa kecil.