Recommended from Medium

Medium | 14.11.2025 13:02

Ham

HANIN

4 min read

·

Just now

Ke mana aku dibawa pergi?

Lagi-lagi, mereka memasukkan aku ke dalam plastik.

Kenapa mereka selalu membawaku pergi?

Sejak aku mulai bisa mengingat, aku selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di pinggir jalan, di pasar, di semak-semak, di gorong-gorong, lalu kali ini di dekat tempat pembuangan sampah. Di mana pun aku tinggal, akan selalu ada orang yang membawaku pergi ke tempat yang lebih mengerikan dari tempat sebelumnya.

Aku selalu sendirian.

Aku tidak tahu kenapa aku sendirian. Padahal yang lain selalu ditemani teman-teman mereka dan bermain bersama. Pasti sangat menyenangkan. Sayangnya, saat aku mencoba bergabung, mereka akan berpura-pura tidak melihatku.

“Sayang, jangan dekat-dekat dia, nanti tertular virus!”
“Lihat tubuhnya! Hoek… Aku sungguh ingin muntah, menjijikkan sekali!”
“Astaga, bau apa ini? Pasti bau kucing itu, ya? Cepat bawa dia pergi dari sini!”
“Ah, merinding sekali aku melihatnya…”
“Paman, tolong singkirkan kucing itu, nanti tak ada yang mau belanja di tempat kita kalau dia terus di sini.”
“Siapapun, tolong aku! Kucing itu menatapku terus! Ini pasti pertanda datangnya sial…”
“Ini kucing? Jelek sekali!”
“Sudahlah, lagipula dia sebentar lagi pasti mati. Lebih baik kita beri makan ke kucing-kucing liar yang di sekitar sana.”

Kalimat-kalimat semacam itu sudah sering aku dengar, membuatku jadi bertanya-tanya. Apakah aku dilahirkan untuk diabaikan seperti ini? Sampai kapan aku harus mendengar umpatan-umpatan itu? Kenapa Ibu pergi membawa semua anaknya kecuali aku?

Kenapa aku selalu sendirian?

Aku menatap dua kakiku yang semakin membusuk.

Pasti karena itu. Aku, Si Buruk Rupa, begitulah aku menyebut diriku sendiri, seekor kucing liar berbulu hitam legam yang lemah dan tidak menggemaskan sama sekali sehingga ditinggalkan oleh ibuku sendiri, lalu mengalami kecelakaan yang menghancurkan dua kakiku.

“Ash! Ash, lihat sini!”

Seorang wanita muda mengarahkan kameranya ke arah seekor kucing Ragdoll berbulu abu-abu. Namanya Ash, ya? Namanya saja tampan sekali, setampan wajahnya. Ia bahkan mengenakan kalung yang diberi batu permata merah.

Bagaimana ya rasanya dipakaikan kalung?

Bagaimana rasanya diberi nama yang begitu keren?

Aku bahkan tidak berani berimajinasi tentang itu. Hari ini masih hidup saja aku sudah sangat bersyukur, meski terkadang aku berharap setidaknya seseorang mengajakku bicara atau bermain bersama mereka.

Meski kakiku sakit, aku juga bisa berlari lincah seperti kucing-kucing lain. Hanya saja… saat ini aku sangat lapar sampai tidak sanggup bergerak. Sepertinya sudah dua hari aku tidak makan. Aku bahkan tidak bisa tidur karena terlalu lapar.

Ah, alangkah senangnya jika aku bisa tidur selamanya.

Aku belum lama tinggal di dunia ini, dan mungkin memang tidak akan lama. Tapi kalau boleh berharap, sekali saja, meski hanya sebentar, aku ingin punya teman dan bermain bersama mereka. Aku ingin seseorang menerimaku yang cacat ini.

Di dalam sebuah mangkuk kecil yang kotor dan berjamur, aku menyusutkan tubuh kedinginan dan memejamkan mataku. Aku ingin tidur. Aku ingin tidur dan tidak pernah bangun selamanya. Tidak akan ada yang berubah jika aku bangun, semuanya akan tetap sama. Aku akan lebih kelaparan dan kedinginan. Aku juga akan lebih sakit.

“Selamat tinggal, semuanya.” aku mencoba bersuara dengan sisa tenagaku.

Namun kemudian, sebuah panggilan membuatku tersentak.

Get HANIN’s stories in your inbox

Join Medium for free to get updates from this writer.

Di hadapanku, muncul seekor kucing berwajah luar biasa cantik. Di sebelahnya, seorang pemuda rupawan berdiri dengan salah satu tangan yang memegangi payung. Sesaat, kupikir aku sudah mati dan berpindah ke surga.

“Kamu baik-baik saja?” kucing cantik berbulu putih keemasan itu bertanya padaku.

Aku tidak bisa menjawabnya.

“Astaga, kakinya terluka!” ujar si pemuda. “Noe, sepertinya kita harus membawa bayi kucing ini ke rumah sakit.”

Sejak saat itu, aku kehilangan kesadaran untuk beberapa saat. Ketika aku bangun, aku sedang tertidur di atas permukaan yang halus dan lembut, serta dibungkus selimut yang hangat dan harum. Aku belum pernah merasa senyaman ini sejak aku lahir.

“June! Si Hitam sudah bangun!” samar-samar aku mendengar suara yang familiar. Itu adalah suara Noe.

“Ada apa, Noe?” pemuda bernama June datang dan mendekat ke arahku. “Oh, akhirnya kamu bangun! Bayi kecil yang malang. Tunggu sebentar, ya, aku akan menyiapkan makanan untukmu!”

Menyiapkan makanan untukku?

Seseorang menyiapkan makanan untukku. Tidak pernah sekali pun aku berkhayal akan kemewahan semacam ini. Lalu, kakiku…

Kakiku sudah tidak sakit lagi!

Noe bilang, kakiku diamputasi. Meski kakiku jadi hilang, setidaknya aku tidak merasa kesakitan. Aku mulai belajar berjalan ditemani Noe dan June. Mereka sangat baik dan perhatian, tidak pernah membiarkan aku sendirian sebentar pun.

Sekarang aku punya teman!

Noe, seekor kucing Birman yang dikenal sebagai ras suci dan surgawi. Dia memang sangat… sangat cantik, bulunya putih bersih bercorak keemasan, matanya biru jernih. Tidak hanya cantik, Noe juga sangat baik. Ia sedikit lebih tua dariku, jadi dia mengajariku banyak hal yang belum aku ketahui.

Lalu June, seorang pemuda tampan yang bekerja sebagai produser musik. Ia memiliki suara yang sangat indah dan hangat. Meski sibuk, ia terkadang bernyanyi untuk Noe dan aku. Ia juga sering memotret kami dengan kamera polaroid kesukaannya. Saat kami makan, saat kami bermain, saat kami jalan-jalan, semuanya dia potret sambil tersenyum.

Noe selalu mengajakku bermain dan bersenang-senang bersamanya meski aku cacat. June selalu memperlakukanku dengan baik meski aku tidak secantik Noe.

“Karena sepertinya kau belum punya nama, mulai sekarang aku akan memanggilmu Ham,” June berujar sambil memakaikan kalung di leherku.

“Ham, imut sekali!” Noe menjilat keningku.

“Ham, hidup yang lama, ya. Aku ingin kamu melihatku menua. Kita bertiga akan menua bersama.”

Aku memejamkan mata dengan kebahagian yang meledak-ledak dalam hatiku.

Berkat Noe dan June, aku mengerti apa yang orang-orang sebut sebagai ‘kebahagiaan’. Berkat mereka, bangun tidurku tidak lagi terasa mengerikan. Berkat mereka, hari esok tidak lagi terasa seperti mimpi buruk.

Seperti harapan yang pernah aku buat, meski tidak lama, aku akhirnya memiliki teman. Aku memiliki teman yang mengajakku bermain dan seseorang yang mengajakku bicara.

Meski hanya sebentar.

“Noe, June, semoga kita berjumpa lagi di surga!”